BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Studi Islam adalah system fenomena keagamaan Islam. System keagamaan
artinya menkaji konsep-konsep keagamaan baik sebagai nilai maupun doktrin agama
Islam. Fenomena keagamaan itu sendiri adalah perwujudan sikap dan perilaku
manusia yang berhubungan dengan nilai dan doktrin tadi. Berarti studi Islam
merupakan suatu usaha pengkajian terhadap aspek-aspek keagamaan Islam maupun
aspek sosiologis yang menyangkut fakta-fakta empiris dalam kehidupan manusia
yang timbul akibat dialog antara nilai agama keagamaan dengan realitas
kehidupan manusia.
Islam dapat dikaji, dimana Islam merupakan sebuah doktrin, Islam sebagai
produk budaya dan bahakan Islam juga merupakan produk interaksi social.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Islam sebagai doktrin?
2. Bagaimana Islam sebagai produk budaya?
3. Bagaimana Islam sebagai produk interaksi social?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Agama Sebagai Doktrin
Kata doktrin berasal dari bahasa inggris doctrine yang
berarti ajaran.[1]
Dari kata doctrine itu kemudian dibentuk kata doktina;, yang berarti
yang berkenaan dengan ajaran atau bersifat ajaran.
Selain kata doctrine sebgaimana disebut diatas,
terdapat kata doctrinaire yang berarti yang bersifat teoritis yang tidak
praktis. Contoh dalam hal ini misalnya doctrainare ideas ini berrati
gagasan yang tidak praktis.[2]
Studi doktinal ini berarti studi yang berkenaan dengan
ajaran atau studi tentang sesuatu yang bersifat teoritis dalam arti tidak
praktis. Mengapa tidak praktis? Jawabannya adalah karena ajaran itu belum
menjadi sesuatu bagi seseorang yang dijadikan dasar dalam berbuat atau
mengerjakan sesuatu.
Uraian ini berkenaan dengan Islam sebagai sasaran atau
obyek studi doctrinal tersebut. Ini berarti dalam studi doctrinal kali yang di
maksud adalah studi tentang ajaran Islam atau studi Islam dari sisi teori-teori
yang dikemukakan oleh Islam.
Islam di definisikan oleh sebagian ulama sebagai
berikut: "al-Islamu wahyun ilahiyun unzila ila nabiyyi Muhammadin
Sallahu`alaihi wasallam lisa`adati al-dunya wa al-akhirah" (Islam
adalah wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai pedoman untuk
kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat).[3]
Berdasarkan pada definisi Islam sebagaimana di
kemukakan di atas, maka inti dari Islam adalah wahyu. Sedangkan wahyu yang dimaksud
di atas adalah al-Qur`an dan al-Sunnah. Al-Qur`an yang kita sekarang dalam
bentuk mushaf yang terdiri tiga puluh juz, mulai dari surah al-Fatihah dan
berakhir dengan surah al-Nas, yang jumlahnya 114 surah.
Sedangkan al-Sunnah telah terkodifikasi sejak tahun
tiga ratus hijrah. Sekarang ini kalau kita ingin lihat al-Sunnah atau
al-Hadist, kita dapat lihat di berbagai kitab hadist. Misalnya kitab hadist
Muslim yang disusun oleh Imam Muslim, kitab hadist Shaleh Bukhari yang ditulis
Imam al-Bukhari, dan lain-lain.
Dari kedua sumber itulah, al-Qur`an dan al-Sunnah,
ajaran Islam diambil. Namun meski kita mempunyai dua sumber, sebagaimana
disebut diatas, ternyata dalam realitasnya, ajaran Islam yang digali dari dua
sumber tersebut memerlukan keterlibatan tersebut dalam bentuk ijtihad.
Dengan ijtihad ini, maka ajaran berkembang. Karena
ajaran Islam yang ada di dalam dua sumber tersebut ada yang tidak terperinci,
banyak yang diajarkan secara garis besar atau global. Masalah-masalah yang
berkembang kemudian yang tidak secara terang disebut di dalam dua sumber itu di
dapatkan dengan cara ijtihad.
Dengan demikian, maka ajaran Islam selain termaktub
pula di dalam penjelasan atau tafsiran-tafsiran para ulama melalui ijtihad itu.
Hasil ijtihad selama tersebar dalam semua bidang,
bidang yang lain. Semua itu dalam bentuk buku-buku atau kitab-kitab, ada kitab
fiqih, itab ilmu kalam, kitab akhlaq, dan lain-lain.
Sampai disini jelaslah, bahwa ternyata ajaran Islam
itu selain langsung diambil dari al-Qur`an dan al-Sunnah, ada yang diambil
melalui ijtihad. Bahkan kalau persoalan hidup ini berkembang dan ijtihad terus
dilakukan untuk mencari jawaban agama Islam terhadap persoalan hidup yang belum
jelas jawabannya di dalam suatu sumber yang pertama itu. Maka ajaran yang
diambil dari ijtihad ini semakin banyak.
Studi Islam dari sisi doctrinal itu kemudian menjadi
sangat luas, yaitu studi tentang ajaran Islam baik yang ada di dalam al-Qur`an
maupun yang ada di dalam al-Sunnah serta ada yang menjadi penjelasan kedua
sember tersebut dengan melalui ijtihad.
Jadi sasaran studi Islam doctrinal ini sangat luas.
Persoalannya adalah apa yang kemudian di pelajari dari sumber ajaran Islam itu.
B. Islam Sebagai Produk Budaya
Agama merupakan kenyataan yang dapat dihayati. Sebagai
kenyataan, berbagai aspek perwujudan agama bermacam-macam, tergantung pada
aspek yang dijadikan sasaran studi dan tujuan yang hendak dicapai oleh orang
yang melakukan studi.
Cara-cara pendekatan dalam mempelajari agama dapat
dibagi ke dalam dua golongan besar, yaitu model studi ilmu-ilmu social dan
model studi budaya. Untuk yang pertama telah dibahas didalam sub bab yang lalu,
sedagkan yang kedua akan menjadi pembahasan saat ini.
Tujuan mempelajari agama Islam juga dapat
dikategorikan ke dalam dua macam, yang pertama, untuk mengetahui, memahami,
menghayati dan mengamalkan. Kedua, untuk obyek penelitian. Artinya, kalau yang
pertama berlaku khusus bagi umat Islam saja, baik yang masih awam, atau yang
sudah sarjana. Akan tetapi yang kedua berlaku umum bagi siapa saja, termasuk
sarjana-sarjana bukan Isalam, yaitu memahami. Akan tetapi realitasnya ada yang
sekedar sebagai obyek penelitian saja.
Untuk memahami suatu agama, khususnya Islam memang
harus melalui dua model, yaitu tekstual dan konstektual. Tekstua, artinya
memahami Islam melalui wahyu yang berupa kitab suci. Sedangkan kontekstual
berarti memahami Islam lewat realitas social, yang berupa perilaku masyarakat
yang memeluk agama bersangkutan.
Studi budaya di selenggarakan dengan penggunaan
cara-cara penelitian yang diatur oleh aturan-aturan kebudayaan yang
bersangkutan.
Kebudayaan adalah keseluruhan pengetahuan yang
dipunyai oleh manusia sebagai mahkluk social yang isinya adalah
perangkat-perangkat model-model pengetahuan yang secara selektif dapat
digunakan untuk memahami dan menginterprestasi lingkungan yang di hadapi, dan
untuk mendorong dan menciptakan tindakan-tindakan yang diperlukan.[4]
Islam merupakan agama yang diwahyukan Allah SWT.
Kepada Nabi Muhammad SAW.sebagai jalan hidup untuk meraih kebahagiaan hidup di
dunia dan akhirat. Agama islam disebut juga agama samawi . selain agama
Islam, Yahudi dan Nasrani juga termasuk ke dalam kategori agama samawi.
Sebab keduanya merupakan agama wahyu yang diterima Nabi Musa dab Nabi Isa
sebagai utusan Allah yang menerima pewahyuan agama Yahudi dan Nasrani.
Agama wahyu bukan merupakan bagian dari kebudayaan.
Demikian pendapat Endang Saifuddin Anshari yang mengatakan dalam suatu
tulisannya bahwa:
"agama samawi dan kebudayaan tidak saling mencakup; pada prinsipnya
yang satu tidak merupakan bagian dari yang lainnya; masing-masing berdiri
sendiri. Antara keduanya tentu saja dapat saling hubungan dengan erat seperti
kita saksikan dalam kehidupan dan penghidupan manusia sehari-hari. Sebagaimana
pula terlihat dalam hubungan erat antara suami dan istri, yang dapat melahirkan
putra, namun suami bukan merupakan bagian dari si istri, demikian pula
sebaliknya."[5]
Atas dasar pandangan di atas, maka agama Islam sebagai
agama samawi bukan merupakan bagian dari kebudayaan (Islam), demikian pula
sebaliknya kebudayaan Islam bukan merupakan bagian dari agama Islam.
Masing-masing berdiri sendiri, namun terdapat kaitan erat antara keduanya.
Menurut Faisal Ismail, hubungan erat itu adalah bahwa Islam merupakan dasar,
asas pengendali, pemberi arah, dan sekaligus merupakan sumber nilai-nilai
budaya dalam pengembangan dan perkembangan cultural. Agama (Islam)lah yang
menjadi pengawal, pembimbing, dan pelestari seluruh rangsangan dan gerak
budaya, sehingga ia menjadi kebudayaan yang bercorak dan beridentitas Islam.[6]
Lebih jauh Faisal menjelaskan bahwa walaupun memiliki
keterkaitan, Islam dan kebudayaan merupakan dua entitas yang berbeda, sehingga
keduanya bisa dilihat dengan jelas dan tegas. Shalat misalnya adalah unsure
(ajaran) agama, selain berfungsi untuk melestarikan hubungan manusia dengan
Tuhan, juga dapat melestarikan hubungan manusia dengan manusia juga menjadi
pendorong dan penggerak bagi terciptanya kebudayaan. Untuk tempat sholat orang
membangun masjid dengan gaya arsitektur yang megah dan indah, membuat sajadah
alas untuk bersujud dengan berbagai disain, membuat tutup kepala, pakaian, dan
lain-lain. Itulah yang termasuk aspek kebudayaan.[7]
Proses interaksi Islam dengan budaya dapat terjadi
dalam dua kemungkinan. Pertama adalah Islam mewarnai, mengubah, mengolah,
an memperbaharui budaya. Kedua, justru Islam yang diwarnai oleh
kebudayaan. Masalahnya adalah tergantung dari kekuatan dari dua entitas kebudayaan atau entitas
keislaman. Jika entitas kebudayaan yang kuat maka akan muncul muatan-muatan
local dalam agama, seperti Islam Jawa. Sebaliknya, jika entitas Islam yang kuat
mempengaruhi budaya maka akan muncul kebudayaan Islam.[8]
Agama sebagai budaya, juga dapat diihat sebagai
mekanisme control, karena agama adalah pranata social dan gejala social, yang
berfungsi sebagai kontro, terhadap institus-institus yang ada.
Dalam kebudayaan dan peradaban dikenal umat Islam
berpegang pada kaidah: Al-Muhafadhatu ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi
al jaded al-ashlah, artinya: memelihara pada produk budaya lama yang baik dan
mengambil produk budaya baru yang lebih baik.[9]
Oleh karena itu, dapat di simpulkan bahwa hasil
pemikiran manusia yang berupa interprestasi terhadap teks suci itu disebut
kebudayaan, maka sisitem pertahanan Islam, system keuangan Islam, dan
sebagainya yang timbul sebagai hasil pemikiran manusia adalah kebudayaan pula.
Kalaupun ada perbedaannya dengan kebudayaan biasa, maka perbedaan itu terletak
pada keadaan institusi-institusi kemasyarakatan dalam Islam, yang disusun atas
dasar prinsip-prinsip yang tersebut dalam al-Qur`an.
C. Islam Sebagai Produk Interaksi Sosial
Islam sebagai sasaran
studi social ini dimaksudkan sebagai studi tentang Islam sebagai gejala social.
Hal ini menyangkut keadaan masyarakat penganut agama lengkap dengan struktur,
lapisan serta berbagai gejala social lainnya yang saling berkaitan.
Dengan demikian yang menjadi obyek dalam kaitan dengan
Islam sebagai sasaran studi social adalah Islam yang telah menggejala atau yang
sudah menjadi fenomena Islam. Yang menjadi fenomena adalah Islam yang sudah
menjadi dasar dari sebuah perilaku dari para pemeluknya.
M. Atho Mudzhar, menulis dalam bukunya, pendekatan
Studi Islam dalam Teori dan Praktek, bahwa ada lima bentuk gejala agam yang
perlu diperhatikan dalam mempelajari atau menstudi suatu agama. Pertama, scripture
atau naskah-naskah atau sumber ajaran dan symbol-simbol agama. Kedua, para
penganut atau pemimpin atau pemuka agama, yaitu yang berkenaan dengan perilaku
dan penghayatan para penganutnya. Ketiga, ritus-ritus, lembaga-lembaga
dan ibadat-ibadat, seperti shalat, haji, puasa, perkawinan dan waris. Keempat,
alat-alat, organisasi-organisasi keagamaan tempat penganut agama berkumpul,
seperti NU dan lain-lain.[10]
Masih menurut M. Atho Mudzhar, agama sebagai gejala
social, pada dasarnya bertumpu pada konsep sosiologi agama. Sosiologi agama
mempelajari hubungantimbal balik antara agama dan masyarakat. Masyarakat
mempengaruhi agam, dan agama mempengaruhi masyarakat. Tetapi menurutnya,
sosiologi sekarang ini mempelajari bukan masalah timbale balik itu, melainkan
lebih kepada pengaruh agama terhadap tingkah laku masyarakat. Bagaimana agama
sebagai system nlai mempengaruhi masyarakat.[11]
Meskipun kecenderungan sosiologi agama. Beliau member
contoh teologi yang dibangun oleh orang-orang syi`ah, orang-orang khawarij,
orang-orang ahli al-Sunnah wa al-jannah dan lain-lain. Teologi-teologi yang
dibangun oleh para penganut masing-masing itu tidak lepas dari pengaruh
pergeseran perkembangan masyarakat terhadap agama.
Persoalan berikutnya adalah bagaimana lita melihat
masalah Islam sebagai sasaran studi social. Dalam menjawab persoalan ini tentu
kita berangkat dari penggunaan ilmu yang dekat dengan ilmu kealaman, karena
sesungguhnya peristiwa-peristiwa yang terjadi mengalami keterulangan yang
hampir sama atau dekat dengan ilmu kealaman, oleh karena itu dapat diuji.
Jadi dengan demikian menstudi Islam dengan mengadakan
penelitian social. Penelitian social berada diantara ilmu budaya mencoba
memahami gejala-gejala yang tidak berulang tetapi dengan cara memahami keterulangan.
Sedangkan ilmu kealaman itu sendiri paradigmanya
positivism. Paragdima positivism dalam ilmu ini adalah sesuatu itu baru
dianggap sebagai ilmu kalau dapat dimati (observable), dapat diukur (measurable),
dan dapat dibuktikan (verifiable). Sedangkan ilmu budaya hanya dapat
diamati. Kadang-kadang tidak dapat diukur atau diverifikasi. Sedangkan ilmu
social yang diangap dekat dengan ilmu kealaman berarti juga dapat diamati,
diukur, dan diverifikasi.
Melihat uraian di atas, maka jika Islam dijadikan
sebagai sasaran studi social, maka harus mengikuti paragdima positivism itu,
yaitu dapat diamati gejalanya, dapat diukur, dan dapat diverifikasi.
Hanya saja sekarang ini juga berkembang penelitian
kualitatif yang tidak menggunakan paragdima positivisme. Ini berarti ilmu
social itu dianggap tidak dekat kepada ilmu kealaman. Jika halnya demikian,
maka berarti dekat kepada ilmu budaya ini berarti sifatnya unik.
Lima hal sebagai gejala agama yang telah disebut di
atas kemudian dapat dijadikan obyek dari kajian Islam dengan menggunakan
pendekatan ilmu social sebagaimana juga telah dungkap diatas.
Masalahnya tokoh agama Islam, penganut agama Islam,
interaksi antar umat beragama, dan lain-lain dapat diangkat menjadi sasaran
studi Islam.
BAB III
KESIMPULAN
Islam sebagai doktrin,
di definisikan oleh sebagian ulama sebagai berikut: "al-Islamu
wahyun ilahiyun unzila ila nabiyyi Muhammadin Sallahu`alaihi wasallam
lisa`adati al-dunya wa al-akhirah" (Islam adalah wahyu yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad SAW sebagai pedoman untuk kebahagiaan hidup di dunia dan
akhirat).
Agama samawi dan kebudayaan tidak saling mencakup;
pada prinsipnya yang satu tidak merupakan bagian dari yang lainnya;
masing-masing berdiri sendiri. Antara keduanya tentu saja dapat saling hubungan
dengan erat seperti kita saksikan dalam kehidupan dan penghidupan manusia
sehari-hari. Sebagaimana pula terlihat dalam hubungan erat antara suami dan
istri, yang dapat melahirkan putra, namun suami bukan merupakan bagian dari si
istri, demikian pula sebaliknya
Islam sebagai sasaran studi social ini dimaksudkan
sebagai studi tentang Islam sebagai gejala social. Hal ini menyangkut keadaan
masyarakat penganut agama lengkap dengan struktur, lapisan serta berbagai
gejala social lainnya yang saling berkaitan.
DAFTAR PUSTAKA
Tim Penyusun: Studi Islam IAIN Sunan Ampel Surabaya. Pengantar Studi
Islam. 2005.Surabaya: IAIN AMPEL PRESS SURABAYA
Endang
Saifuddin Anshari. Pokok-pokok Pikiran Tentang Islam.cet. 1 9Bnadung:
C.V. Pelajar. 1996)
Masyhur Amin,
Ismail S. Ahmad (ed), Dialog Pemikiran Islam dan Empirik, LAKPESDAM.
Yogyakarta, cet. I, 1993,
Faisal Ismail, Paragdima
Kebudayaan Islam Studi Kritis dan Refleksi Historis (Yogyakarta: Titian
Ilahi Press, 1998),
M. Atho
Mudzhar, Pendekatan Studi Islam;dalam Teori dan Praktek. 1998 (Pustaka
Pelajar, Yogyakarta)
[1] Baca: John M. Echols dan Hasan
Shadily, kamus Inggris Indonesia, 1990, Gramedia, Jakarta, hal. 192
[2] Ibid
[3] M. Atho Mudzhar, Pendekatan Studi
Islam;dalam Teori dan Praktek. 1998 (Pustaka Pelajar, Yogyakarta) hal.19.
[4] Persudi Suparlan. "Kebudayaan dan
Pembengunan" dalam kapan Agama dan Masyarakat, Balitbang Agama.
Departemen Agama. Jakarta. 1991-1992. Hal.85
[5] Endang Saifuddin Anshari. Pokok-pokok
Pikiran Tentang Islam.cet. 1 9Bnadung: C.V. Pelajar. 1996), hlm.46
[6] Faisal Ismail, Paragdima Kebudayaan
Islam Studi Kritis dan Refleksi Historis (Yogyakarta: Titian Ilahi Press,
1998), hlm. 43-44.
[7] ibid
[8] Simuh. Islam dan Pergumulan Budaya
Jawa (Jakarta: Teraju, 2003)hlm.8.
[9] Masyhur Amin, Ismail S. Ahmad (ed), Dialog
Pemikiran Islam dan Empirik, LAKPESDAM. Yogyakarta, cet. I, 1993, hal. VI.
[10] M. Atho Mudzhar. Pengantar Studi
Islam dalam Teori dan praktek, hal.13-14
[11] ibid
TERIMAKASIH SUDAH SANGAT MEMBANTU
BalasHapus